PERAN AHLI DALAM PROPOSAL PERDAMAIAN PKPU

Share This Post

Author                 : Kenzo Galatica Mulyadi

Editor                  : Al-Qadri Rahman, S.H

Krisis moneter di Indonesia pada tahun 1997-1998 ternyata tidak hanya memberikan dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia, namun juga turut mendorong pembaruan aturan hukum mengenai kepailitan dan utang piutang. Krisis moneter sendiri menyebabkan banyaknya perusahaan mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya hingga berdampak pada kesulitan membayar kewajiban utang kepada kreditor.

Atas dasar hal tersebut, DPR-RI bertindak cepat dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Tentang Kepailitan yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian terakhir di revisi menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (”UU 37/2004”). UU 37/2004 sendiri menyediakan dua sarana sebagai alternatif penyelesaian utang piutang yaitu Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang  atau disingkat PKPU. Penyelesaian utang piutang melalui kepailitan akan menggunakan mekanisme pelunasan yang bersumber dari likuidasi aset milik debitor pailit yang dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas, namun dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran (PKPU) tidak terjadi likuidasi aset, tetapi tujuan PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (2) UU 37/2004 adalah untuk mengajukan rencana pembayaran yang meliputi pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

PKPU memberikan kesempatan bagi debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya sambil menjalankan usahanya dan inilah perwujudan dari asas kelangsungan usaha yang terkandung dalam UU 37/2004. Trisno pada bukunya ”Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Usaha yang Dirugikan Oleh Konsumen (Studi Kasus Pada Win One Karaoke)” menulis bahwa sejatinya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan pemberian fasilitas kesempatan untuk melakukan restrukturisasi hutang yang mencakup upaya bagian perpanjangan kontrak utang atau keringanan dalam hal administrasi, bunga atau denda. Jikalau hal ini bisa berjalan sesuai alur yang sudah ditetapkan maka debitur masih mempunyai kesempatan untuk tetap menjalankan usahanya dan kreditor mendapatkan kepastian hukum nya terkait pengembalian utang oleh debitor.

Perdamaian menjadi hal yang fundamental dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) karena perdamaian adalah maksud dari diberikannya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sesuai dengan Pasal 222 ayat (2) dan (3) UU 37/2004. Mengenai hal-hal apa saja yang harus tertuang dalam rencana perdamaian atau biasa juga disebut sebagai proposal perdamaian tidak diatur dalam UU 37/2004 padahal rencana perdamaian merupakan salah satu hal paling penting dalam proses PKPU. Pasal 281 UU 37/2004 menjelaskan Rencana perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat diterima berdasarkan:

  1. persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur termasuk kreditur yang tagihannya dibantah dan dapat ikut serta dalam pemungutan suara dengan jumlah batasan suara berdasarkan penentuan hakim pengawas, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat; dan
  2. persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan dari kreditur tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat.

Namun tidak sedikit kreditor yang meragukan isi dari rencana perdamaian karena khawatir dalam pelaksanaannya tidak terjamin, salah satunya karena debitor tidak mampu memberikan kepastian sumber pembayaran utang-utangnya. Pada Pasal 285 ayat (2) UU UU 37/2004 telah memberikan wewenang kepada Pengadilan untuk menolak mengesahkan perdamaian, apabila:

  1. harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian; 
  2. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
  3. perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau 
  4. imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

Tidak adanya pedoman bagaimana seharusnya rencana perdamaian dapat dikatakan cukup terjamin sehingga seringkali kreditor tidak teliti dalam menyetujui rencana perdamaian yang diajukan dan berisiko tidak terlaksananya isi perdamaian dikemudian hari. Untuk mengatasi hal tersebut Pasal 238 UU 37/2004 sudah mengakomodasi dengan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta debitor dalam jangka waktu tertentu. Laporan ahli tersebut harus memuat hal-hal sebagai berikut:

  • Pendapat yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor;
  • Dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor;
  • Tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor; dan
  • Tindakan yang harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor.

Berdasarkan Penjelasan di atas, telah terang dan jelas bahwa ahli memiliki peran yang vital dan penting dalam menakar resiko jaminan dan kepastian pada rencana perdamaian debitor PKPU. Pengangkatan satu atau lebih Ahli akan meminimalisir upaya-upaya tidak baik dari debitor dalam menyusun rencana perdamaiannya, rencana perdamaian yang disampaikan oleh Debitor harus terperinci dan detail serta terbuka, hal-hal tersebut yang akan meyakinkan kreditur bahwa debitur sungguh-sungguh ingin menyelesaikan utangnya.

Pengangkatan satu atau lebih Ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta debitor sangat vital karena dari laporan tersebut kreditor dapat memiliki pengetahuan tentang keadaan usaha debitor maupun tingkat kesanggupan debitor dalam melaksanakan isi perdamaiannya dan dapat mempertimbangkan apakah kreditor menyetujui atau menolak rencana perdamaian karena penilaian ahli tersebut dapat menjadi dasar pertimbangan bahwa rencana tersebut terjamin pelaksanaannya atau tidak.

More To Explore