Author : Celine F. Simanungkalit, S.H
Editor : Al-Qadri Rahman, S.H
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi para pencipta yang timbul secara otomatis dan berdasarkan pada prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk yang nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku[1]. Hadirnya hukum bagi Hak Cipta bertujuan untuk memberikan suatu perlindungan bagi para pencipta serta produser suatu barang maupun jasa dengan cara memberikan hak-hak dengan batasan tertentu guna mengontrol penggunaan yang dilakukan oleh produser.
Hak Cipta, maupun hak lain yang serupa seperti paten dan merek seringkali digunakan sebagai penentu maju atau berkembangnya suatu negara yang ditentukan dari besaran royalti yang diterima oleh produser, jadi pada dasarnya Hak Cipta sangat berperan dalam nilai ekonomi.
Berbicara mengenai nilai ekonomi suatu Hak Cipta, benda/ karya/ ciptaan dari seseorang dianggap sebagai benda bergerak yang tidak berwujud yang dapat diperjual belikan, diwariskan, dan dihibahkan. Undang-Undang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia (fiduciary guarantee)[2]. Adapun beberapa syarat agar dapat dinilai sebagai Hak Cipta yang sesuai dengan Undang-Undang, yaitu :
- Perwujudan (fixation) : suatu karya yang harus diwujudkan dalam suatu media;
- Keaslian (originality) : suatu karya yang betul-betul baru dan asli;
- Kreativitas (creativity) : penilaian mandiri oleh pencipta mengenai kreativitas.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) adalah instansi di bawah naungan Kemenkumham RI yang menaungi permasalahan Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), dalam situsnya disebutkan ciptaan apa saja yang dapat dilindungi, yaitu:
- Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasilkarya tulis lain;
- Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
- Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
- Drama atau drama musikal, tari, koreografi,pewayangan, dan pantomim;
- Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
- Arsitektur;
- Peta;
- Seni Batik;
- Fotografi;
- Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Ketentuan mengenai Hak Cipta dapat dijadikan sebagai suatu objek Jaminan Fidusia dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 (“UUHC 28/2014”) merupakan bentuk fasilitatif dari pemerintah terhadap masyarakat dalam menyediakan wadah pengembang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai bentuk penghargaan atas karya yang telah diwujudkan dalam bentuk yang nyata.
Eksistensi ketentuan tersebut berawal dari adanya perlindungan Hak Cipta yang melindungi hak dari setiap ciptaan yang telah direalisasikan, serta Hak Cipta juga memiliki hak moral (yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan ciptaan untuk umum) dan hak ekonomi (hak eksklusif pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya).
Adanya hak moral dan hak ekonomi pada Hak Cipta membuat Hak Cipta dapat dijadikan sebagai objek Jaminan Fidusia, selain itu Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud serta sejalan dengan pengertian Jaminan Fidusia. Fidusia adalah suatu pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda[3].
Untuk menanggung maupun untuk menjamin suatu pembayaran ataupun pelunasan utang, pada umumnya seorang debitur diwajibkan untuk menyediakan suatu jaminan berupa agunan yang dapat dinilai dengan uang dan memiliki kualitas yang tinggi, dengan lain kata memiliki jumlah minimal sebesar jumlah utang yang diberikan. Pihak perbankan maupun lembaga keuangan lainnya (kreditur) meminta kebendaan jaminan dengan maksud jika debitur tidak dapat melunasi utang-utangnya atau dinyatakan pailit, maka kebendaan jaminan tersebut dapat dicairkan atau diuangkan dengan tujuan menutupi pelunasan utang.
Namun perlu diketahui juga bahwa dalam praktik para notaris mengalami kesulitan dalam menilai besaran jumlah atau nilai (uang) dari sebuah Hak Cipta karena belum ada pedoman penilaian atas nilai ekonomis benda tidak berwujud seperti Hak Cipta dan belum adanya kejelasan mengenai mekanisme untuk menjadikan Hak Cipta sebagai objek Jaminan Fidusia. Adanya norma mengenai Hak Cipta sebagai objek Jaminan Fidusia tersebut seakan-akan dibiarkan sebatas menjadi norma dalam undang-undang tanpa ada peraturan pelaksana hingga sekarang.
Sektor perbankan pun cenderung menolak Hak Cipta sebagai Jaminan Fidusia karena persoalan valuasi dalam bentuk uang, karena biasanya bank akan berusaha memberikan kredit agar kredit itu bisa kembali (dalam bentuk uang), sedangkan apabila barang atau sebuah aset yang dijaminkan adalah berbentuk kekayaan intelektual (Hak Cipta), mereka akan kesulitan cara menilai barang tersebut. Disamping itu hal lain yang belum jelas adalah cara eksekusi, pada akhirnya perbankan di Indonesia tidak bersedia memberikan pembiayaan dengan jaminan Hak Cipta.
Berdasarkan paparan di atas, persoalan Hak Cipta sebagai Jaminan Fidusia bukan hal yang mudah, karena :
- Pertama, harus dipahami bahwa konstruksi Hak Cipta di Indonesia dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. Hak Cipta dapat menjadi Jaminan Fidusia sebatas pada hak ekonominya.
- Kedua, hak ekonomi yang bisa dialihkan ini pun dapat tidak selalu dipegang oleh si Pencipta karya tersebut, karena pada hakekatnya kepemilikan atas hak ekonomi dapat diperjual belikan, diwariskan, dan dihibahkan[4].
Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang siapa yang berhak menjadi debitur dalam Jaminan Fidusia yang berupa Hak Cipta. Peran penting Notaris dibutuhkan untuk menyusun konstruksi hak apa saja yang diserahkan kepada kreditur sebagai Jaminan Fidusia, serta dibutuhkannya sistem valuasi yang bisa dipercaya jika masih ingin mempertahankan Hak Cipta sebagai Jaminan Fidusia. Peluang untuk Hak Cipta dijadikan objek Jaminan Fidusia merupakan sebuah hal baru yang perlu dikaji lagi. Saat ini dalam praktiknya memang menjaminkan secara fidusia terhadap Hak Cipta belum terjadi di Indonesia namun untuk jangka waktu kedepan bukan merupakan suatu hal yang mustahil dalam penerapannya.
Bila melihat Pasal 16 ayat (3) UUHC 28/2014, Undang-Undang ini berpotensi menimbulkan problematika hukum dalam praktik kedepan apabila tidak ada regulasi yang mengakomodir berlakunya Hak Cipta sebagai objek Jaminan Fidusia. Problematika hukum tersebut berkaitan dengan masalah proses eksekusi atas Hak Cipta yang dijaminkan Fidusia bilamana debitur selaku pihak pemberi Fidusia melakukan wanprestasi atau cidera janji.
Tentu saja dasar hukum utama yang menjadi dasar berkaitan dengan Hak Cipta sebagai Objek Jaminan Fidusia tersebut adalah Undang-Undang 42/1999 tentang Jaminan Fidusia sehingga kedepan apabila peluang Hak Cipta dapat dijaminkan fidusia benar-benar terbuka maka permasalahan mengenai tata cara mengeksekusi Hak Cipta dapat diterapkan dengan mengacu aturan utamanya yakni Undang-Undang Jaminan Fidusia dengan tetap memperhatikan sebagian atau seluruh hak ekonomi atas Hak Cipta yang dijaminkan.

[1] Pasal 1 ayat (1) UUHC 28/2014
[2] Pasal 16 ayat (3) UUHC 28/2014
[3] Pasal 1 ayat (1) UU 42/1999
[4] Pasal 16 ayat (3) UUHC 28/2014