Batas Kebebasan Berbicara Dalam Media Sosial: Kasus Bima Yudho Saputro

Share This Post

Pada tanggal 7 April 2023, seorang pengguna Tiktok bernama Bima Yudho Saputro dengan username @awbimaxreborn mengunggah sebuah video yang pada intinya mengkritik kinerja Pemerintah Provinsi Lampung dalam bidang perkembangan infrastruktur, pendidikan, birokrasi, dan perekonomian. Dalam video tersebut, Bima menyebut provinsi Lampung “dajjal”.[1]

Video tersebut menjadi viral di media sosial dan sebagai dampaknya, pada hari Kamis, 13 April 2023, Kepolisian Daerah Lampung telah menerima laporan bernomor LP/B/161/IV/2023/SPKT/POLDA LAMPUNG yang mana pelapor atas nama Gindha Ansori Wayka telah melaporkan penggunaan kata “dajjal” oleh Bima sebagai ujaran kebencian yang mengandung unsur SARA yang merupakan pelanggaran Pasal 28 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE).[2] Selain itu, keluarga Bima juga mendapat intimidasi dari beberapa pihak.[3] Publik bereaksi dengan memberikan dukungan kepada Bima, namun pada saat itu kepolisian tetap terus melanjutkan proses penyelidikan.[4] Namun, pada konferensi pers yang dilakukan oleh Polda Lampung pada tanggal 18 April 2023, Dirreskrimsus Donny Arief mengaakan bahwa kepolisian resmi menghentikan penyelidikan kasus Bima dengan alasan bahwa tindakan terlapor tidak memenuhi unsur pidana.[5]

Tak selang lama setelah penghentian penyelidikan oleh Polda Lampung, mulai beredar kembali berita bahwa pengguna media sosial lainnya mengkritik beberapa video lama yang pernah diunggah oleh Bima, dimana dalam satu video Bima menyebut Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai “janda”, dan dalam video lain Bima menyebut Ir. Soekarno “udah mampus”.[6] Walaupun kali ini tidak ada keterlibatan kepolisian, Bima kali ini mengunggah video permohonan maaf pada 23 April 2023, yang juga dibarengi dengan permohonan maaf dari pengacara keluarga Bima pada tanggal 25 April 2023.[7]

Dengan mencuatnya kasus ini, maka kebebasan berpendapat dan berkritik di media sosial kembali dipertanyakan. Dapat muncul pula kecemasan terkait apakah hanya dengan salah berbicara di media sosial dapat berimbas pemidanaan. Oleh karena itu, pantaslah untuk diteliti apakah uujaran “dajjal” yang diucapkan oleh Bima ini sebenarnya memang tidak mengandung unsur pidana, sebagaimana menjadi kesimpulan Polda Lampung, dan apa sebenarnya batas-batas kebebasan berbicara dalam media sosial.

Perlu diketahui bahwa Pasal 28 ayat 2 UU ITE berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

Berdasarkan bunyi Pasal 28 ayat 2 tersebut, maka dapat diuraikan menjadi beberapa elemen yang akan diuganakan untuk menganalisis tindakan Bima yang dilaporkan ke kepolisian:

  1. Setiap orang

Unsur setiap orang dalam hal ini mengacu kepada subjek hukum. Bima yang adalah warga negara Indonesia jelas adalah subjek hukum yang tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Walaupun dirinya sedang berada di Australia, namun karena asas nasionalitas aktif, maka dirinya tetap tunduk pada ketentuan pidana di Indoensia.

  • Dengan sengaja dan tanpa hak

Unsur ini dapat dimaknai dari kesengajaan pembuat konten dalam melakukan tindakannya. Tanpa hak merujuk pada fakta bahwa pembuat konten tidak memiliki hak khusus untuk menyebarluaskan konten tersebut berdasarkan konteks dan situasi, seperti misalnya untuk keperluan edukasi atau dengan izin pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, kesengajaan Bima dalam membuat konten dapat terlihat dalam niat nya mendesign video, merangkai presentasi yang digunakan dalam video, dan mengunggah video tersebut. Bima juga tidak memiliki hak tertentu untuk menyebarkan video tersebut yang dapat digunakan untuk menjustifikasi konten videonya.

  • Menyebarkan informasi

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kominfo, Jaksa Agung RI, dan Kapolri Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU ITE (SKB UU ITE), bentuk informasi yang disebarkan dapat berbentuk video, sedangkan tindakan “menyebarkan” mencangkup tindakan mengunggah pada akun media sosial dengan pengaturan sehingga bisa diakses publik (semua orang). Oleh karena Bima mengunggah videonya dalam akun Tiktok yang dapat diakses oleh semua orang, maka unsur penyebaran informasi ini terpenuhi.

  • Yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu

Unsur ini menjadi salah satu unsur yang paling penting karena disinilah motif seseorang menyebarkan informasi terduga tersebut harus diteliti. Berdasarkan SKB UU ITE, motif ini dapat dibuktikan jika dalam konten adanya ajakan, elemen-elemen menggerakan masyarakat, menghasut atau mengadu domba, dan keinginan untuk menimbulkan kebencian dan/atau permusuhan. Perlu diperhatikan pula bahwa SKB UU ITE secara spesifik mengecualikan penyampaian pendapat yang berupa pernyataan yang sebatas mengungkapkan tidak setuju/tidak suka pada suatu individu atau kelompok masyarakat.

Video yang diunggah oleh Bima dimana ia menggunakan kata “dajjal” berisi kritikan terhadap kinerja Pemprov Lampung bersifat informatif tanpa adanya ajakan kepada penonton untuk membenci atau berbuat suatu hal. Penggunaan kata “dajjal” dalam video tersebut pun lebih pada deskriptif perasaan pribadi nya terhadap kondisi di Lampung. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana dirinya menggunakan kata “dajjal” dalam kalimat (“gue berasal dari provinsi yang satu ini, dajjal, dan gue sekarang lagi menjalani proses study gue di Australia”). Tidak ada unsur hastuan atau ajakan di kalimat tersebut, lebih pada informatif. Sehingga terlihat bahwa motif Bima tidak ada yang menunjukan ajakan atau hasutan bagi penonton untuk membenci, baik pada masyarakat Lampung atau Pemprov Lampung, dan oleh karena itu unsur ini tidak terpenuhi.

  • Berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)

Unsur ini menjadi bagian dianalisis berdasarkan hasil dari unsur sebelumnya, yaitu adalah untuk melihat apakah ajakan atau hasutan untuk kebencian ditujukan pada suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Dalam hal ini, karena tidak ada suku Lampung, agama Lampung, ataupun ras Lampung, maka kemungkinan yang dapat diaplikasikan kepada kasus Bima adalah golongan tertentu. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi mendefinisikan bahwa istilah “antargolongan” dalam hal ini meliputi entitas diferensiasi sosial yang tidak diwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras. Oleh karena itu, dapat diinterpretasikan bahwa peggolongan masyarakat berdasarkan provinsi asal dapat masuk kedalam kategori antargolongan, sehingga golongan masyarakat provinsi Lampung memang dapat masuk kategori ini. Namun, penggunaan kata “dajjal” oleh Bima tidak sama sekali ditujukan kepada masyarakat provinsi Lampung, atau bahkan kepada Pemprovnya. Jika memang kata “dajjal” ditujukan untuk mendeskripsikan masyarakat atau pemerintah Lampung, maka struktur kalimat yang digunakan Bima akan menjadi “berasal dari provinsi dajjal yang satu ini”. Namun kenyataannya, kalimat yang digunakan Bima tidak seperti itu. Kalaupun mau dipaksakan, maka penggunaan kata “dajjal” hanya melekat pada Provinsi Lampung, yang mana berbeda dari masyarakat lampung atau pemerintah lampung. Karena Provinsi Lampung bukanlah sebuah kelompok orang, melainkan sebuah tanda/ruang geografis, maka tidak ada golongan orang tertentu yang dituju. Oleh karena itu unsur ini tidak terpenuhi.

Karena unsur keempat dan unsur kelima dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak terpenuhi, maka konklusinya adalah memang benar video unggahan Bima yang berisi ujaran “dajjal” tidak mengandung tindak pidana sama sekali. Keputusan pihak kepolisian untuk memberhentikan penyelidikan adalah keputusan yang tepat. Namun, bagaimana dengan unggahan Bima lainnya yang menyebut Ibu Megawati sebagai “janda” dan Ir. Soekarno “udah mampus”?

Walaupun unggahan Bima yang lain ini tidak dilaporkan kepada polisi, akan dicoba dianalisis menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu larangan untuk menyebarkan konten penemaran nama baik. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 serta penjelasan Pasal 27 UU ITE, ketentuan Pasal 27 ayat (3) ini terikat pada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang berarti harus berupa sebuah tuduhan sesuatu agar diketahui umum atau perbuatan menuduh yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku. SKB UU ITE menambahkan bahwa jika isi konten/tuduhan tersebut adalah berupa kenyataan, maka bukanlah pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 juga menambahkan bahwa jika konten hanya berisi sebuah cacian, ejekan, atau kata-kata tidak pantas, maka bukan termasuk pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE, melainkan seharusnya dianalisa menggunakan Pasal 315 KUHP, yang adalah penghinaan ringan.

Kedua frasa yang disebutkan oleh Bima ini bukanlah sebuah tuduhan, namun memang sebuah kenyataan. Suami Ibu Megawati, Bapak Taufiq Kemas, memang sudah meninggal pada tahun 2013 silam. Kata “mampus” menurut KBBI berarti mati.[8] Dalam hal ini, memang benar Ir. Soekarno telah meninggal dunia. Karena kedua ungkapan yang digunakan oleh Bima memang mengandung kenyataan, dan bukan sebuah tuduhan, maka tidak melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Namun, kepantasan penggunaan kata “mampus” dan “janda” untuk mendeskripsikan mantan Presiden Ke-5 dan Ke-1 Indonesia dapat diperdebatkan, sehingga perkataan Bima memang beresiko untuk terjerat Pasal 315 KUHP. Sebagai kesimpulan, walaupun adanya hak berpendapat dan berekpresi dalam menggunakan media sosial, memang ada batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum, terutama dalam Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE. Batasan tersebut tidak serta merta diadakan, namun bertujuan untuk melindungi hak kehormatan orang lain dan sebagai langkah preventif terhadap hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Memberikan kritik dan menyebarkan kebenaran memang diperbolehkan, bahkan dianjurkan supaya masyarakat dapat memperoleh informasi yang berguna. Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kritik dan kebenaran tersebut disampaikan dengan cara yang tepat sehingga dapat mengurangi dampak-dampak negatif yang dapat timbul jika tidak dicerna dengan baik. Untuk mengurangi potensi pengunggah konten terkena tuntutan pidana, maka ada baiknya jika pengunggah memperhatikan penggunaan kata dan unsur-unsur serta motif yang dapat ditentukan dari konten yang akan diunggah.


[1] https://vt.tiktok.com/ZS83M4GCP/; https://www.mengerti.id/sosok/6648445019/siapa-bima-yudho-saputro-profil-pemilik-akun-tiktok-awbimax-reborn-dipolisikan-gegara-sentil-lampung

[2] https://news.detik.com/berita/d-6676787/tiktoker-bima-yang-kritik-lampung-resmi-dilaporkan-ke-polisi

[3] https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/04/18/dilaporkan-ke-polisi-karena-kritik-lampung-bima-dapat-dukungan-publik

[4] Ibid

[5] https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckm6m37l4nko; https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230418105537-12-939174/kriminalisasi-bima-dan-ruang-aparat-usut-jalan-rusak-di-lampung

[6] https://www.detik.com/sumut/berita/d-6688196/usai-dipuji-kini-bima-lampung-dihujat-netizen; https://sport.suaramerdeka.com/news/9768560474/parah-bima-yudho-saputro-makin-songong-sebut-ir-soekarno-sudah-mampus; https://www.detik.com/sumut/berita/d-6689383/3-pernyataan-yang-bikin-bima-dihujat-netizen;

[7] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230424100607-20-941369/bima-minta-maaf-soal-janda-sebut-tak-maksud-berkonotasi-negatif; https://www.detik.com/sumut/berita/d-6689199/permintaan-maaf-keluarga-usai-bima-sebut-megawati-janda;

[8] https://kbbi.web.id/mampus

More To Explore