Author: Desi Rahmuni
Editor: Joseph Fajar Simatupang, S.H.
Pada dasarnya setiap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan. Namun, terdapat pengecualian terhadap kewajiban tersebut. Pasal 37 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (selanjutnya disebut sebagai “Permen ATR/BPN 21/2020”) mengatur terkait pengecualian ini. Permen ATR/BPN 21/2020 ini terbit ditujukan untuk memberi kepastian hukum guna menyelenggarakan kebijakan pertanahan yang merupakan salah satu tugas dan fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Adapun cakupan pembahasan pada Permen ATR/BPN 21/2020 meliputi penerimaan dan distribusi Pengaduan, Penanganan dan Penyelesaian Sengketa dan Konflik, Penanganan Perkara, Pembatalan Produk Hukum, Mediasi, tim Penanganan dan Penyelesaian Kasus, Perkembangan Penanganan dan Penyelesaian Kasus, monitoring, evaluasi dan pelaporan, sanksi, dan perlindungan hukum. Namun dalam artikel ini akan lebih fokus membahas terkait Pembatalan Produk Hukum.
Pembatalan Produk Hukum dilakukan oleh Pejabat yang berwenang karena dua hal yaitu:[1]
- Cacat administrasi dan/atau cacat yuridis;
- Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perlu dipahami bahwa Produk Hukum disini tidak hanya merujuk kepada sertipikat tanah, melainkan semua yang termasuk Produk Hukum Kementerian Agrari dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya yang merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara di bidang pertanahan.[2]
Dalam hal Produk Hukum yang akan dibatalkan berupa hak atas tanah atau sertipikat tanah yang dibebani dengan hak tanggungan, maka sebelum dilakukan Pembatalan Produk Hukum karena alasan cacat administrasi dan/atau cacat yuridis, Kementerian atau Kantor Wilayah memberitahukan kepada pemegang Hak atas Tanah dan Hak Tanggungan.[3]
Terkait kewenangan Pembatalan Produk Hukum Pasal 30 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN telah mengatur hal tersebut, yaitu:
Menteri menerbitkan keputusan Pembatalan karena:
- Cacat administrasi dan/atau cacat yuridis terhadap produk hukum yang diterbitkan oleh Kementerian atau Kantor Wilayah;
- Pelaksanaan putusa pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan Produk Hukum yang diterbitkan oleh Kementerian.
Kemudian Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan Pembatalan karena:
- Cacat administrasi dan/atau cacat yuridis terhadap Produk Hukum yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan; atau
- Melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalan Produk Hukum yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan.
Dalam hal tertentu, Menteri dapat membatalkan Produk Hukum Kantor Wilayah atau Kantor Pertanahan yang merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis maupun sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pembatalan Produk Hukum Karena Cacat Administrasi dan/atau Cacat Yuridis
Dalam suatu bidang tanah pada prinsipnya hanya dapat diterbitkan satu sertipikat hak atas tanah kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.[4] Lebih lanjut terkait Pembatalan Produk Hukum karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a disebabkan oleh beberapa hal yaitu:[5]
- Kesalahan dalam proses/prosedur penerbitan hak atas tanah, pendaftaran hak dan proses pemeliharaan data pendaftaran tanah;
- Kesalahan dalam proses/prosedur pengukuran;
- Kesalahan dalam proses/prosedur penerbitan sertipikat pengganti;
- Kesalahan dalam proses/prosedur penerbitan sertipikat Hak Tanggungan;
- Kesalahan penerapan peraturan perundang-undagan;
- Kesalahan subjek hak;
- Kesalahan objek hak;
- Kesalahan jenis hak;
- Tumpang tindak hak atas tanah;
- Tumpang tindih dengan kawasan hutan;
- Kesalahan penetapan konsolidasi tanah;
- Kesalahan penegasan tanah objek landreform;
- Kesalahan dalam proses pemberian izin peralihan hak;
- Kesalahan dalam proses penerbitan surat keputusan Pembatalan;
- Terdapat putusan pengadilan pidana berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya tindak pidana pemalsuan, penipuan, penggelapan dan/atau perbuatan pidana lainnya;
- Terdapat dokumen atau data yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat bukan produk instansi tersebut berdasarkan surat keterangan dari instansi yang bersangkutan;
- Terdapat putusan pengadilan yang dalam pertimbangan hukumnya terbukti terdapat fakta adanya cacat dalam penerbitan produk hukum Kementerian dan/atau adanya cacat dalam perbuatan hukum dalam peralihan hak tetapi dalam amar putusannya tidak dinyatakan secara tegas.
Usulan Pembatalan Produk Hukum karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[6]
- Surat permohonan atau surat pengaduan;
- Fotokopi identitas pemohon yang dilegalisir dan kuasanya jika dikuasakan;
- Asli surat kuasa jika dikuasakan;
- Fotokopi bukti-bukti pemilikan/penguasaan atas tanah pemrohon yang dilegalisir;
- Dokumen data fisik dan data yuridis yang diusulkan Pembatalan;
- Dokumen hasil Penanganan; dan
- Fotokopi dokumen pendukung lainnya yang dilegalisir yang menunjukkan atau membuktikan adanya cacat administrasi dan/atau cacat yuridis.
Pembatalan Produk Hukum Sebagai Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Dalam Pasal 37 Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 disebutkan bahwa “Setiap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan”. Namun pelaksanaan putusan tersebut dapat dikecualikan terhadap beberapa hal sebagai berikut:
- Objek putusan terdapat putusan lain sekamar yang bertentangan;
- Amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
- Objek putusan sedang diletakkan sita;
- Letak bidang tanah objek Perkara tidak jelas dan tidak ada eksekusi;
- Letak, luas dan batas bidang tanah objek Perkara yang disebut dalam amar putusan dan/atau pertimbangan hukum berbeda dengan leta, luas dan batas bidang tanah yang dieksekusi;
- Tanah objek Perkara telah berubah menjadi tanah Negara atau haknya telah hapus;
- Putusan sama sekali tidak berhubungan dengan objek yang dimohonkan Pembatalan;
- Alasan lain yang sah.
Dalam hal putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan maka diberitahukan kepada Pemohon dan Pengadilan disertai dengan alasan dan pertimbangannya.[7] Terhadap hal ini Kementerian dan/atau Kantor Wilayah Pertanahan berperan aktif untuk melihat apakah benar suatu putusan pengadilan dapat dilaksanakan. Dan ketika memang tidak bisa untuk dilaksanakan yang disebabkan oleh alasan-alasan sebagaimana disebutkan diatas, maka jelas harus diberitahukan kepada Pemohon dan Pengadilan. Namun kenyataannya di lapangan, terkadang Pejabat Pertanahan ini kurang memperhatikan adanya alasan-alasan pengecualian pelaksanaan putusan pengadilan, sehingga ketika ada suatu putusan yang dimohonkan untuk dilaksanakan, Pejabat Pertanahan serta merta melaksanakannya tanpa melakukan pengecekan lebih dalam.
Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah SK KaKanwil BPN Jambi tentang Pembatalan/Pencabutan SHM No. 98 yang merupakan suatu pelaksanaan putusan pengadilan Perkara Nomor 9/Pdt.G/2006/PN.Sgt. Adanya perbedaaan letak, luas dan batas bidang tanah objek sengketa yang disebut dalam amar putusan berbeda dengan letak, luas dan batas bidang tanah yang dieksekusi seharusnya menjadi alasan bagi Kantor Wilayah BPN Jambi untuk tidak melaksanakan Putusan Pengadilan Sengeti tersebut. Dengan adanya Perment ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2021, seharusnya mendapat perhatian dari para stakeholder khususnya Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya terkait pembatalan suatu produk hukum terlebih hal itu dapat merugikan atau melanggar hak-hak orang lain.
Lebih lanjut terkait permohonan pembatalan produk hukum, atas permohonan yang berkepentingan, putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan tindakan administrasi pertanahan berupa penerbitan keputusan Pembatalan Produk Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]
Pembatalan Produk Hukum sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ditindaklanjuti jika amarnya “menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum/tidak mempunyai kekuatan mengikat/tidak mempunyai kekuatan pembuktian” meliputi:[9]
- Penetapan hak atas tanah;
- Pendaftaran hak atas tanah pertama kali;
- Pemeliharaan data pendaftaran tanah;
- Sertipikat pengganti hak atas tanah;
- Sertipikat Hak Tanggungan;
- Keputusan Pembatalan;
- Keputusan penetapan tanah terlantar;
- Sertipikat hak milik atas satuan rumah susun;
- Penetapan konsolidasi tanah;
- Penegasan tanah objek lanreform;
- Penetapan kesediaan pemberian ganti rugi bekas tanah pertikelir;
- Keputusan pemberian izin lokasi yang meliputi lintas provinsi;
- Penetapan Pejabat Tata Usaha Negara di Lingkungan Kementerian di bidang pertanahan yang bersifat konkret, individual dan final.
Kemudian untuk permohonan Pembatalan Produk Hukum kerena pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[10]
- Surat permohonan;
- Fotokopi identitas pemohon yang dilegalisir dan kuasanya jika dikuasakan;
- Asli surat kuasa jika dikuasakan;
- Fotokopi bukti-bukti pemilikan/penguasaan atas tanah yang pemohon yang dilegalisir;
- Dokumen data fisik dan data yuridis yang diusulkan Pembatalan;
- Fotokopi putusan pengadilan yang dilegalisir;
- Fotokopi berita acara pelaksanaan eksekusi yang dilegalisir.
Pada kesimpulannya suatu Pembatalan Produk dapat dilakukan karena dua alasan yaitu adanya cacat administrasi dan/atau cacat yuridis atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan putusan pengadilan. Dimana Pembatalan Produk Hukum karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis disebabkan oleh beberapa alasan sebagaimana telah disebutkan diatas. Dan untuk Pembatalan Produk Hukum sebagai tindak lanjut pelaksanaan putusan pengadilan juga dapat dikecualikan terhadap beberapa alasan pula. Sehingga dalam hal ini, tidak semua putusan pengadilan wajib dilaksanakan tetapi harus diteliti terlebih dahulu apakah memang objek perkaranya sudah sesuai dengan yang disebutkan pada amar putusan.
[1] Pasal 29 ayat (1) Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[2] Pasal 1 angka 13 Permer ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[3] Pasal 29 ayat (2) Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[4] Pasal 34 ayat (1) Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[5] Pasal 35 Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[6] Pasal 36 Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[7] Pasal 37 ayat (3) Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[8] Pasal 38 ayat (1) Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[9] Pasal 38 ayat (2) Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020
[10] Pasal 40 ayat (1) Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020